Sabtu, 19 Mei 2012

Pestisida


I.                  PENDAHULUAN


I.I Latar Belakang
Sejak tahun 2500 SM, orang-orang Sumeria di Mesopotamia telah menggunakan belerang untuk mengendalikan serangga. Homerus (Yunani, 850 SM) menyebutkan tentang penggunaan belerang sebagai fumigan untuk mengendalikan hama. Aristoteles (350 SM) menyatakan bahwa penggunaan fumigan oleh orang-orang Yunani telah berlangsung lama. Pada 200 SM, Cato (Romawi) melaporkan tentang penggunaan semprotan minyak untuk mengendalikan hama. Ko Hong, ahli kimia besar bangsa Cina (abad 4 M), menganjurkan perlakuan arsenikum pada akar tanaman padi sebelum di tanam untuk melindungi akar dari hama. Penggunaan secara luas dimulai sejak tahun 1800. Pada tahun 1891, merkuri klorida diluncurkan sebagai fungisida dan pengawet kayu. Tahun 1814, Weighton menyarankan penggunaan campuran belerang dan kapur yang bisa digunakan untuk mengendalikan apel scab. Karbon bisulfida diuji sebagai nematisida di Jerman sekitar 1880 yang kemudian digunakan untuk mengendalikan nematoda. Pada tahun-tahun belakangan, dikembangkan fungisida yang bersifat sistemik yang mampu masuk ke dalam jaringan tumbuhan (Djojosumarto, 2008).
Tanaman pertanian sering diganggu atau dirusak oleh organisme pengganggu yang secara ekonomis dapat merugikan petani. Untuk menghindari kerugian karena serangan organisme pengganggu tanaman perlu dilindungi dengan cara mengendalikan organisme pengganggu tanaman tersebut (Djojosumarto, 2008). Untuk mengatasi masalah hama, pestisida di programkan untuk memberantas dan mengendalikan hama dan penyakit tanaman. Pestisida sering digunakan sebagai pilihan utama untuk memberantas organisme pengganggu tanaman karena mempunyai daya bunuh tinggi, penggunaanya mudah, dan hasilnya cepat untuk diketahui. Bahkan juga untuk mencegah agar hama tidak timbul (Rini, 2002).
Pemberantasan hama dengan pestisida yang dengan frekuensi tetap tanpa mempedulikan ekosistem tersebut telah mengakibatkan efek samping yang cukup besar. Di antaranya muncul resistensi dan resurjensi hama sasaran, ledakan hama penyakit sekunder yang bukan sasaran, berpengaruh negatif terhadap biota bukan sasaran, misalnya musuh alami dan serangga berguna, residu pestisida yang membawa keracunan pada konsumen, kematian dan cacat tubuh akibat keracunan bagi penggunanya, dan pencemaran lingkungan (Rini, 2002).

I.2 Tujuan Praktikum
Tujuan dari praktikum ini adalah agar para mahasiswa dapat mengetahui dan membedakan formulasi pestisida serta dapat mengetahui dan menentukan formulasi pestisida yang lebih aman untuk di aplikasikan serta mengetahui kelemahan-kelemahan dalam aplikasinya.



II.               TINJAUAN PUSTAKA


2.1  Definisi Pestisida
Secara harfiah  “Pestisida” berarti membunuh hama (pest : hama dan cide : membunuh ). Berdasarkan SK Menteri Pertanian RI Nomor.434.1/Kpts/TP.270/2001, pestisida adalah semua zat kimia atau bahan lain serta jasad renik dan virus yang digunakan untuk memberantas atau mencegah hama dan penyakit yang merusak tanaman, memberantas rerumputan,  dan semua hama, penyakit dan jasad renik yang mengganggu dan merugikan. Sementara menurut The United States Environmental Control Act, pestisida merupakan semua zat atau campuran zat khusus yang digunakan untuk mengendalikan, mencegah, atau menangkis gangguan serangga, binatang pengerat, nematoda, gulma, virus, bakteri, serta jasad renik yang dianggap hama (Djojosumarto, 2008).
Secara khusus, pestisida yang digunakan di bidang pengelolaan tanaman disebut produk perlindungan tanaman atau pestisida pertanian. Penyebutan ini dimaksudkan untuk membedakan jenis pestisida tersebut dengan pestisida yang digunakan di bidang lain (Djojosumarto, 2008).

2.2  Penggolongan Pestisida
Faktor biotik yang menyebabkan gangguan pada tanaman disebut dengan istilah organisme pengganggu tanaman  (OPT). Gangguan yang disebabkan oleh OPT inilah yang bisa dikendalikan dengan pestisida. Berdasarkan OPT sasarannya, pestisida dikelompokkan menjadi beberapa jenis. Insektisida adalah pestisida yang digunakan untuk mengendalikan hama berupa serangga. Rodentisida yaitu pestisida yang digunakan untuk mengendalikan dan memberantas hewan pengerat seperti tikus. Nematisida digunakan untuk mengendalikan nematoda. Fungisida adalah pestisida yang digunakan untuk mengendalikan penyakit tanaman yang disebabkan oleh cendawan ( jamur). Bakterisida adalah pestisida yang digunakan untuk mengendalikan penyakit tanaman yang disebabkan oleh bakteri. Herbisida digunakan untuk mengendalikan gulma (tanaman pengganggu) (Djojosumarto, 2008).

2.3  Jenis Formulasi Pestisida
Formulasi pestisida yang dipasarkan terdiri atas bahan pokok yang disebut bahan aktif (active ingredient) yang merupakan bahan utama pembunuh organisme pembunuh organisme pengganggu dan bahan ramuan (inert ingredient). Pestisida organik alamiah berasal dari bahan-bahan tanaman, maka sering juga disebut pestisida botanik. Pestisida ini tidak bertahan lama, daya bunuhnya cepat, dan berdaya rendah. Senyawa mikroba merupakan salah satu bahan aktif organik sintetik yang berasal dari hasil formulasi manusia dari virus, bakteri atau jamur. Berikut beberapa formulasi atau bentuk pestisida yang beredar di Indonesia (Rini, 2002).
Tepung hembus (Dust = D), bentuknya tepung kering yang hanya terdiri atas bahan aktif, misalnya belerang, atau dicampur dengan bahan aktif yang bertindak sebagai karier, atau dicampur bahan-bahan organik seperti tepung tempurung tanaman, walnut, mineral profit, bentoit, atau talk. Kandungan bahan aktifnya rendah, sekitar 2-10%. Dalam penggunaannya pestisida ini harus dihembuskan dengan menggunakan alat khusus yang disebut duster. Untuk pemberantasan dibutuhkan cukup banyak bahan agar mengena pada jasad sasaran (Rini, 2002).
  Emulsifiable Concentrate (EC) sediaan berbentuk pekatan (konsentrat) cair dengan konsentrasi bahan aktif yang cukup yang cukup tinggi. Konsentrat ini bila dicampur dengan air akan membentuk emulsi (butiran benda cair yang melayang dalam media cair lain). EC umumnya dengan cara disemprotkan, meskipun dapat pula digunakan dengan cara lain. Formulasi EC merupakan formulasi klasik yang paling banyak digunakan hingga saat ini (Djojosumarto, 2008).
Butiran (Granula = G) berbentuk butiran padat yang merupakan campuran bahan aktif berbentuk cair dengan butiran yang mudah menyerap bahan aktif. Penggunaannya cukup ditaburkan atau dibenamkan disekitar perakaran tanaman. Tidak mudah tercuci oleh air siraman sehingga residunya tahan lama didalam tanah. Umumnya granula bersifat sistemik sehingga sangat sesuai untuk hama yang menghisap dan menggerek.
Tepung yang dapat disuspensikan dalam air (wettable powder = WP) berbentuk tepung kering agak pekat ini belum bisa secara langsung digunakan untuk memberantas jasad sasaran, harus terlebih dahulu dibasahi air. Hasil campurannya dengan air disebut suspensi. Pestisida ini tidak larut dalam air melainkan hanya tercampur saja. Pestisida yang berbentuk WP mengandung bahan pembasah tipe detergen yaitu bahan yang berfungsi untuk meningkatkan kemampuan tepung pembawa pestisida untuk di despersikan dalam air agar tidak mengambang pada permukaan Kandungan bahan aktifnya 50-85% (Rini, 2002).
Tepung yang larut dalam air (Water-soluble powder = SP) sepintas mirip WP. Penggunaanya pun ditambahkan air. Perbedaannya terletak pada kelarutannya. Bila WP tidak bisa terlarut dalam air, SP bisa larut dalam air. Kandungan bahan aktifnya biasanya tinggi (Rini, 2002).
Suspensi (flowable concentrate = F) formulasi ini merupakan campuran bahan aktif yang ditambah pelarut serbuk yang dicampur dengan sejumlah kecil air. Hasilnya adalah seperti pasta yang disebut campuran basah. Campuran ini dapat tercampur air dengan baik dan mempunyai sifat yang serupa dengan formulasi WP yang ditambah sedikit air. Penggunaannnya juga seperti WP yaitu dengan cara disemprotkan, contohnya Fungisida Dithane 430 F (Rini, 2002).
Ultra Low Volume (ULV) yaitu pestisida yang merupakan jenis khusus dari formulasi S (solution). Bentuk murninya merupakan cairan atau bentuk padat yang larut dalam solven minimum. Konsentrat ini mengandung pestisida berkonsentrasi tinggi dan di aplikasikan langsung tanpa penambahan air. Sebagai contoh Insektisida Sumialpha 10 ULV (Rini, 2002).
Solution (S) merupakan formulasi yang dibuat dengan melarutkan pestisida ke dalam pelarut organik dan dapat digunakan dalam pengendalian jasad pengganggu secara langsung tanpa perlu dicampur dengan bahan lain, contoh Gramoxone S yang merupakan herbisida kontak purna tumbuh (Rini, 2002).
Aerosol (A) merupakan formulasi yang terdiri dari campuran bahan aktif berkadar rendah dengan zat pelarut yang mudah menguap (minyak) kemudian dimasukkan kedalam kaleng yang diberikan tekanan gas propelan. Formulasi jenis ini banyak digunakan di rumah tangga, rumah kaca, atau pekarangan. Contohnya Insektisida Baygon (Rini, 2002).
Umpan beracun (poisonous bait = B) merupakan formulasi yang terdiri dari bahan aktif pestisida digabungkan dengan bahan lainnya yang disukai oleh jasad pengganggu. Contohnya rodentisida Klerat dan Ramortal 12 B (Rini, 2002).
Powder Concentrate (PC) formulasi berbentuk tepung biasanya tergolong rodentisida yaitu untuk memberantas tikus. Penggunaannya dicampur dengan umpan dan dipasang diluar rumah. Contohnya Racumin dan Silmurin (Rini, 2002).
Ready Mix Bait (RMB) Formulasi ini berbentuk segi empat (blok) besar dengan bobot 300 gram dan blok kecil dengan 10-20 gram serta pelet. Kandungan bahan aktifnya rendah, antara 0,003-0,005 %. Formulasi ini berupa umpan beracun siap pakai untuk tikus. Contohnya Klerat RMB (Rini, 2002).

2.4    Cara Mengaplikasikan Pestisida
Dalam bidang pertanian (bercocok tanam), pestisida di aplikasikan dengan berbagai cara. Cara-cara mengaplikasikan pestisida di antaranya adalah sebagai berikut.
Penyemprotan (Spraying) merupakan cara aplikasi pertanian yang paling banyak dipakai oleh para petani. Diperkirakn 75% penggunaan pestisida dilakukan dengan cara disemprotkan di darat maupun di udara. Dalam penyemprotan pestisida, larutan pestisida dipecah oleh nozzle atau atomizer yang terdapat dalam alat penyemprot menjadi butiran semprot. Bentuk sediaan pestisida yang di aplikasikan dengan cara disemprotkan meliputiWP, EC, EW, WSC, SP, FW dan WDG (Djojosumarto, 2008)
Pengabutan (Low Volume Method) hampir sama dengan penyemprotan , hanya saja bedanya pengabutan menggunakan volume yang lebih rendah dibanding penyemprotan. Cairan semprot yang digunakan dalam pengabutan bisa langsung berupa cairan tanpa harus diencerkan lebih dulu. Meskipun demikian bahan aktifnya sama (Rini, 2002).
Pengasapan (Fogging) adalah aplikasi pestisida dengan volume ultra rendah dengan menggunakan ukuran droplet yang sangat halus. Campuran pestisida dengan solvent (umumnya minyak) dipanaskan sehingga menjadi semacam kabut asap(fog) yang sangat halus. Fogging sangat banyak dilakukan untuk mengendalikan hama gudang (Djojosumarto, 2008).
Penghembusan (Dusting) adalah aplikasi produk pestisida yang diformulasi sebagai tepung hembus dengan menggunakan alat penghembus (Duster) (Djojosumarto, 2008).
Penaburan Pestisida Butiran (Granule Distribution) merupakan cara khas untuk mengaplikasikan pestisida berbentuk butiran. Penaburan dapat dilakukan dengan tangan atau dengan mesin penabur (Granule Broadcaster) (Djojosumarto, 2008)
Fumigasi (Fumigation) adalah aplikasi pestisida baik berbentuk padat, cair maupun gas dalam ruangan tertutup. Fumigasi umumnya digunakan untuk melindungi hasil panen dari kerusakan karena hama atau penyakit di tempat penyimpanan. Fumigan dimasukkan ke dalam gudang yang selanjutnya akan terbentuk gas beracun untuk membunuh OPT sasaran yang ada dalam ruangan tersebut (Djojosumarto, 2008).

Tidak ada komentar: